Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 7): Fi’il Amr (Lanjutan)
https://muslim.or.id/95043-penjelasan-kitab-tajilun-nada-bag-7-fiil-amr-lanjutan.html
Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat
Bagaimana tatacara bersuci untuk salat ketika di pesawat? Harus wudu atau boleh dengan tayamum?
Silakan baca penjelasannya di artikel berikut
https://muslim.or.id/95041-tatacara-bersuci-untuk-salat-ketika-di-pesawat.html
“Seandainya cintamu (kepada Allah) sejati maka kamu akan mentaatiNya, sesungguhnya orang yang cinta pada siapa yang dicintainya maka akan dibuktikan dengan ketaatan padanya."
Al-Imam Ibnul Mubarak
Tazkiyatun Nufuus, 105
Kaum muslimin yang kami muliakan, syukur yang sebenarnya tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan “alhamdulillah”. Namun hendaknya seorang hamba bersyukur dengan hati, lisan dan anggota badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. (Minhajul Qosidin, hal. 305)
Читать полностью…Menjaga Agama di Tengah Maraknya Penyimpangan
Dari generasi ke generasi, tetap saja ada manusia yang condong kepada kekeliruan dalam memahami agama yang mulia ini. Bahayanya, manusia-manusia seperti itu dapat mempengaruhi agama seseorang yang semula lurus dan benar kemudian terjerumus dalam kesesatan yang nyata. Wal-‘iyadzubillah.
Silakan baca artikelnya lewat tautan berikut
https://muslim.or.id/94990-menjaga-agama-di-tengah-maraknya-penyimpangan.html
Apakah Inti Kebahagiaan Itu?
Seseorang yang telah ditakdirkan meraih kebahagiaan, maka dia akan dimudahkan dan diberi taufik untuk melakukan kebaikan. Sebaliknya, seseorang yang ditakdirkan sengsara, akan melakukan aktivitas keburukan.
Silakan baca penjelasannya di artikel berikut
https://muslim.or.id/93546-apakah-inti-kebahagiaan-itu.html
“Sesungguhnya imam mazhab yang empat bersepakat tentang keharaman al ma’azif, yaitu alat-alat hiburan, seperti ‘ud (banjo) dan semacamnya. Seandainya seseorang merusaknya, maka menurut mereka (imam mazhab yang empat) orang tersebut tidak diharuskan mengganti bentuk kerusakan. Bahkan menurut mereka haram memilikinya”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Minhajus Sunnah, 3/439. Dinukil dari Tahruim alat Tharb, 99
Kaidah Fikih: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah (wafat th. 1421) pernah berkata,
“Tidak ada satu pun perkara yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, melainkan padanya terdapat kemaslahatan (kebaikan). Dan tidaklah ada satu perkara pun yang Allah dan Rasul-Nya larang, melainkan ada kemaslahatan jika hal tersebut tidak ada.” [Syarah Riyadusshalihin, 3:533]
Silakan baca artikelnya lewat tautan berikut
https://muslim.or.id/94963-kaidah-fikih-syariat-hadir-untuk-kemaslahatan.html
Bahaya Mengkafirkan Sesama Kaum Muslimin
Mencela sesama kaum muslimin secara umum termasuk dalam perbuatan dosa besar, apalagi mengkafirkan sesama muslimin. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64)
Lebih dari itu adalah mencela sesama muslim dengan melemparkan tuduhan bahwa dia telah kafir. Perbuatan ceroboh (penyakit) semacam ini telah menjangkiti sebagian kaum muslimin karena lemahnya pemahaman mereka terhadap akidah dan manhaj yang benar. Padahal, banyak kita jumpai hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan hal ini.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045)
Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari no. 6104)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 60)
Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 61)
Hadis-hadis di atas termasuk yang dinilai membingungkan, karena makna yang diinginkan tidak seperti yang tercantum dalam teks hadis. Menuduh (memvonis) sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah maksiat, yang tidak sampai derajat perbuatan kekafiran. Sedangkan seorang muslim tidaklah dinilai (divonis) kafir hanya dengan sebab maksiat, seperti misalnya berzina, membunuh, demikian juga dengan menuduh saudara muslim dengan tuduhan kafir, tanpa meyakini batilnya agama Islam.
Oleh karena itu, terdapat beberapa penjelasan ulama berkaitan dengan hadis di atas.
Tidak Boleh Sembarangan Mengkafirkan Seseorang
Di antara akidah ahlussunnah waljama’ah adalah membedakan antara takfīr muṭlaq dan takfīr mu’ayyan.
Pertama: al-Takfīr al-Muṭlaq (التكفير المطلق), yaitu menjatuhkan vonis kekufuran kepada suatu keyakinan, ucapan, atau perbuatan yang merupakan pembatal keislaman, atau menjatuhkan vonis kafir kepada pelakunya secara umum tanpa menunjuk pada orang tertentu.
Contoh:
1. Menyembah berhala adalah kekufuran.
2. Membenci syariat Allah Ta’ala dan tuntunan Nabi-Nya ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah kekufuran.
3. Barangsiapa yang meyakini bahwa salat itu tidak wajib atau zina itu tidak haram, maka dia kafir.
Kedua: al-Takfīr al-Mu’ayyan (التكفير المعين), yaitu menjatuhkan vonis kafir kepada seseorang tertentu karena dia telah melakukan suatu pembatal keislaman.
Contoh:
Si Fulan itu kafir.
Takfīr mu’ayyan tidak boleh diarahkan kepada seseorang kecuali jika telah terpenuhi syarat-syarat dan hilang penghalang-penghalang dari pengkafirannya. Oleh karena itu, yang hanya boleh melakukan takfīr mu’ayyan adalah para ulama’ besar atau mufti yang telah mengetahui apakah si Fulan yang melakukan pembatal keislaman tersebut telah terpenuhi syarat atau hilang penghalang dari kekafirannya.
Adapun tugas kita sebagai penuntut ilmu adalah mempelajari apa saja yang merupakan pembatal keislaman sehingga kita bisa menghindarinya dan memperingatkan orang lain darinya. Dengan kata lain, tugas kita adalah seputar takfīr muṭlaq, bukan takfīr mu’ayyan.
Rasulullah ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita agar tidak sembarangan mengkafirkan seseorang secara mu’ayyan.
Dari Ibn ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, bahwa Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir,’ maka tuduhan itu akan kembali kepada salah satunya.” (HR. Bukhari no. 6104 dan Muslim no. 60. Bukhari juga meriwayatkan hadis ini dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu no. 6103)
Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud “tuduhan itu akan kembali kepada salah satunya” bukan bermakna si penuding itu telah kafir dengan ucapannya. Akan tetapi, ini termasuk dalam bab memberikan ancaman yang keras kepada orang yang melakukan sebuah dosa yang besar di mata syariat.
Adapun jika Fulan tersebut telah tegas kekafirannya dalam dalil secara mu’ayyan, maka wajib bagi kita untuk meyakini kekafirannya.
Contoh: Fir’aun, Abu Jahl, Abu Lahb, Abu Thalib, dll.
Demikian pula orang-orang yang memang beragama selain Islam, maka wajib bagi kita untuk meyakini kekafiran mereka.
https://muslim.or.id/60926-tidak-boleh-sembarangan-mengkafirkan-seseorang.html
Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Zulhijah
Di penghujung tahun hijriah ini, Allah mengaruniakan kita dengan waktu-waktu utama yang bisa kita maksimalkan untuk beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Waktu-waktu dan hari-hari yang akan datang tersebut adalah sepuluh hari pertama dari bulan Zulhijah, hari-hari terbaik dalam satu tahun yang kita miliki.
Silakan baca artikelnya lewat tautan berikut
https://muslim.or.id/94961-keutamaan-sepuluh-hari-pertama-bulan-dzulhijah.html
Ayo Dukung YPIA Academy
YPIA ACADEMY adalah divisi dakwah yang menghadirkan sarana belajar ilmu syar’i di tengah masyarakat, baik secara offline maupun online.
Di dalam YPIA Academy ada Ma'had Al Ilmy, Ma'had Umar bin Khathab, Ma'had YaaAbati, dan Kampus Tahfizh.
Mari dukung YPIA Academy dengan berdonasi melalui link berikut:
https://ypia.or.id/campaign/bantu-dakwah-ypia-academy/
https://ypia.or.id/campaign/bantu-dakwah-ypia-academy/
Jazakumullah khayran...
“Manusia binasa pada fudhuulul maal (harta yang melebihi kebutuhan) dan fudhuulul kalam.”
An-Nakhai rahimahullahu
Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339
“Jihad hakikatnya adalah bersungguh-sungguh mencapai sesuatu yang Allah cintai berupa iman dan amal saleh dan menolak sesuatu yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan”
Ibnu Taimiyah rahimahullah
Majmu’ Al Fatawa, 10/191
Penyimpangan Terhadap Asmaul Husna
Allah subhanahu wa ta’ala memiliki nama-nama yang indah. Di dalam bahasa Arab disebut dengan Asmaul Husna (الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
{ وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ }
Artinya: “Hanya milik Allah Asmaul Husna. Oleh karena itu, bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’râf : 180)
Untuk mengenal nama-nama tersebut haruslah merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an adalah kalamullah (perkataan Allah). Allah lebih tahu tentang diri-Nya daripada seluruh makhluk-Nya. Begitu pula dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lebih tahu tentang Allah daripada seluruh manusia.
Lanjut baca: https://muslim.or.id/14139-asmaul-husna.html
Ust. Sa'id Yai Ardiansyah, Lc.,M.A.
Hukum Bertayamum untuk Salat ketika Safar
Banyak dari kaum muslimin yang bertayamum untuk salat ketika mereka sedang safar, baik dengan bus, kapal, ataupun pesawat. Apakah hal itu dibenarkan? Apakah safar merupakan uzur/ alasan diperbolehkannya tayamum sebagai ganti dari wudu untuk salat?
Silakan baca penjelasannya di artikel berikut
https://muslim.or.id/95039-hukum-bertayamum-untuk-salat-ketika-safar.html
Kaum muslimin yang kami muliakan, seorang muslim sejati tidak pernah terlepas dari tiga keadaan yang merupakan tanda kebahagiaan baginya, yaitu bila dia mendapat nikmat maka dia bersyukur, bila mendapat kesusahan maka dia bersabar, dan bila berbuat dosa maka dia beristighfar. (Qowa’idul Arba’, hal. 01)
Читать полностью…Benarkah Harta Itu Sebagai Cobaan?
Semua sudah mengenal apa itu harta. Tidak ada seorang pun yang belum mengerti tentang hal ini. Kemasyhurannya telah menenggelamkan seluruh penjuru dunia. Kedudukan harta sangatlah tinggi dihati manusia, menjadi sesuatu yang sangat dicintai dan berharga bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ (6) وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ (7) وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (8)
“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, Dan Sesungguhnya anusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, Dan Sesungguhnya Dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” (Qs. Al-Aadiyat: 6-8)
Harta adalah satu tuntutan kebutuhan pokok manusia untuk hidup di setiap tempat dan zaman, kecuali di akhir zaman, dimana harta berlimpah ruah sehingga tidak ada seorangpun yang mau menerimanya karena tidak dapat memanfaatkannya. Waktu itu orang sangat semangat untuk sholat dan ibadah yang tentunya lebih baik dari dunia dan seisinya, karena mereka mengetahui dekatnya hari kiamat setelah turunnya nabi Isa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَيُوْشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيْكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا مُقْسِطًا وَ إِمَامًا عَدْلاً فَيُكْسِرُ الصَّلِيْبَ وَ يَقْتُلُ الْخِنْزِيْرَ وَ يَضَعُ الْجِزْيَةَ وَ يَفِيْضُ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ وَ حَتَّى تَكُوْنَ السَّجْدَةُ الْوَاحِدَةُ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَ مَا فِيْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku ditangan-Nya, telah dekan turunnya Ibnu Maryam pada kalian sebagai pemutus hukum dan imam yang adil, lalu ia menghancurkan salib, membunuh babi, menghapus upeti dan harta melimpah ruah sehingga tidak ada seorang pun yang menerimanya, hingga satu kali sujud lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR Ahmad, dan At-Tirmidzi dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jaami’ no. 7077)
Akan terjadi juga sebelumnya satu masa yang berlimpah rezeki hingga khalifah tidak menghitung hartanya dengan bilangan namun menyerahkannya dengan cidukan kedua telapak tangannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَكُونُ فِى آخِرِ أُمَّتِى خَلِيفَةٌ يَحْثِى الْمَالَ حَثْيًا لاَ يَعُدُّهُ عَدَدًا
“Akan datang diakhir umatku seorang khalifah yang menciduk harta dengan cidukan tidak menghitungnya dengan bilangan.” (HR Muslim no. 7499)
Semua orang telah mengetahui kegunaan harta di dunia, karenanya mereka berlomba-lomba mencarinya hingga melupakan mereka atau mereka lalai dari memperhatikan perkara-perkara penting yang berhubungan dengan harta. Perkara yang berhubungan dengan perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, hingga akhirnya mereka tidak lagi memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram. Hal ini telah dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!
Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi perduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?!
Selengkapnya:
https://muslim.or.id/2326-benarkah-harta-itu-sebagai-cobaan.html
Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Penjelasan pertama, hadis di atas dimaknai bagi orang-orang yang meyakini halalnya perbuatan tersebut (adanya istihlal dari pelaku). Kalau seseorang meyakini (memiliki i’tiqad) bahwa perbuatan tersebut halal, inilah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir.
Kaidah dalam masalah ini adalah maksiat itu berubah menjadi kekufuran ketika pelakunya meyakini halalnya perbuatan maksiat tersebut. Kalau dia bermaksiat, namun dia merasa bersalah, maka itu statusnya tetap maksiat.
Penjelasan kedua, yang kembali kepada dirinya adalah maksiat berupa pelecehan kepada saudaranya dan dosa maksiat akibat memvonis kafir saudaranya. Artinya, yang kembali kepada si penuduh adalah “maksiat menuduh kafir”.
Penjelasan ketiga, sebagian ulama memaknai hadis ini khusus untuk orang-orang khawarij yang suka mengkafirkan kaum muslimin. Ini menurut pendapat ulama yang mengatakan bahwa sekte khawarij itu kafir. Akan tetapi, pendapat ini lemah karena pendapat yang tepat adalah bahwa kaum khawarij itu tidak kafir sebagaimana kelompok ahlul bid’ah yang lainnya, meskipun mereka hobi mengkafirkan sesama muslimin.
Penjelasan keempat, maknanya adalah bahwa perbuatan itu akan mengantarkan kepada kekafiran. Hal ini karena maksiat adalah pos pengantar menuju kekafiran. Orang yang banyak dan terus-menerus berbuat maksiat dan tidak bertobat, maka dikhawatirkan lama-lama akan berujung kepada kekafiran.
Penjelasan kelima, yang kembali kepada dirinya sendiri adalah “vonis (tuduhan) kafir”, bukan maksudnya kalau dirinya menjadi benar-benar kafir. Hal ini karena ketika dia menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka seolah-olah dia sedang menuduh dirinya sendiri, karena muslim yang satu dengan yang lain bagaikan satu tubuh (satu badan).
Demikianlah lima penjelasan ulama tentang maksud hadis bahwa siapa saja yang menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka tuduhan kafir itu akan kembali kepada si penuduh.
Kesimpulan, perbuatan (suka) menuduh sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah perkara maksiat yang berbahaya. Seharusnya kita menjauhkan diri kita dari perbuatan mengkafirkan sesama muslimin.
Disarikan dari kitab Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, karya Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani rahimahullahu Ta’ala, hal. 86-90.
https://muslim.or.id/50837-bahaya-mengkafirkan-sesama-kaum-muslimin.html
Umar bin Abdil Aziz menulis surat kepada guru anaknya,
“hendaklah pertama kali yang diyakini anak-anakku dari tata-kramamu adalah membenci nyanyian. Yang awalnya dari setan, akhirnya kemurkaan dari Ar Rahman Jalla wa ‘Ala.
Karena sesungguhnya telah sampai kepadaku dari para ulama yang terpercaya bahwa menghadiri alat-alat musik dan mendengarkan nyanyian-nyanyian serta menyukainya akan menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, sebagaimana air akan menumbuhkan rerumputan.
Demi Allah, sesungguhnya menjaga hal itu dengan tidak mendatangi tempat-tempat tersebut, lebih mudah bagi orang yang berakal, daripada bercokolnya kemunafikan di dalam hati”
Muntaqan Nafis min Talbis Iblis, 306
Fikih Wakaf (Bag. 7): Bolehkah Wakaf untuk Keluarga Sendiri?
Telah kita ketahui bersama bahwa wakaf maknanya adalah menahan hak milik atas materi/fisik harta benda dari diri kita lalu menyedekahkan manfaat atau faedahnya untuk kebaikan umat Islam, kepentingan agama, dan/atau kepada penerima wakaf yang telah ditentukan oleh diri kita, seperti wakaf bangunan untuk sebuah yayasan pendidikan. Lalu, bolehkah jika wakaf tersebut peruntukannya kita khususkan untuk keluarga atau kerabat kita saja?
Silakan baca penjelasannya di artikel berikut
https://muslim.or.id/94414-fikih-wakaf-bag-7-bolehkah-wakaf-untuk-keluarga-sendiri.html
”Orang yang zuhud bukanlah orang yang meninggalkan kelelahan-kelelahan dunia dan beristirahat darinya. Tetapi orang yang zuhud adalah orang yang meninggalkan dunia, dan berpayah-payah di dunia untuk akhirat.”
Abu Sulaiman rahimahullah
Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198)
PENDAFTARAN KAMPUS TAHFIZH PROGRAM REGULER ANGKATAN 28 OFFLINE & ONLINE TELAH DIBUKA
Formulir pendaftaran
https://kampustahfizh.id/
Narahubung Pusat YPIA Academy:
https://wa.me/6281392658080
📡 Broadcasted by:
| Kampus Tahfizh Yogyakarta
| YPIA Academy
Kondisi Hati Yang Dihuni Oleh Tauhid
Tauhid merupakan nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada seorang hamba. Di awal surah an-Nahl yang juga dinamakan dengan surah an-Ni’am (berbagai kenikmatan), Allah Ta’ala berfirman,
يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَىٰ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (QS. An-Nahl: 2)
Inilah kenikmatan pertama yang disebutkan dalam surah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa taufik untuk bertauhid merupakan kenikmatan terbesar yang dianugerahkan oleh Allah kepada seorang hamba. Sufyan bin Uyainah rahimahullah menyatakan,
مَا أنْعَمَ الله على العِبادِ نِعْمَةً أعْظَمَ من أنْ عرّفَهُم لا إلَهَ إلّا الله
“Tidak ada kenikmatan yang dianugerahkan Allah kepada hamba melebihi anugerah makrifat (ilmu) terhadap esensi kalimat tauhid laa ilaha illallah.” (Lihat Kalimat al-Ikhlas, hal. 53; karya Ibnu Rajab)
Hati merupakan hunian (tempat tinggal) bagi tauhid, mahabbah (rasa cinta), dan keimanan. Cahaya tauhid akan menyucikan hati, karena tauhid yang terpatri di dalam hati mengandung pengingkaran terhadap penyembahan yang batil kepada selain Allah dan penetapan adanya penyembahan yang hak (benar) hanya kepada Allah saja. Inilah intisari dan esensi dari kalimat tauhid “laa ilaha illallah” serta merupakan perkara terbaik yang diperoleh dan dicapai oleh hati dan jiwa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan,
قِيلَ يا رَسولَ اللَّهِ مَن أسْعَدُ النَّاسِ بشَفَاعَتِكَ يَومَ القِيَامَةِ؟ قالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لقَدْ ظَنَنْتُ يا أبَا هُرَيْرَةَ أنْ لا يَسْأَلُنِي عن هذا الحَديثِ أحَدٌ أوَّلُ مِنْكَ لِما رَأَيْتُ مِن حِرْصِكَ علَى الحَديثِ أسْعَدُ النَّاسِ بشَفَاعَتي يَومَ القِيَامَةِ، مَن قالَ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِن قَلْبِهِ، أوْ نَفْسِهِ
“Terdapat satu pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini. Karena aku melihat Engkau sangat tertarik terhadap hadis. Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallah” dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (HR. Bukhari no. 99)
Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Setiap orang yang meninggal dan bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari hati, niscaya dia masuk surga.” (HR. Ahmad no. 22003, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 2278)
Tauhid inilah yang menjadi tujuan utama penciptaan makhluk dan menjadi misi utama diutusnya para rasul, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Lanjur baca: https://muslim.or.id/93497-kondisi-hati-yang-dihuni-oleh-tauhid.html
Ust. M. Saifudin Hakim
Tahdzir Terhadap Dai Menyimpang, Bukan Berarti Merasa Suci
Ketika ada ulama atau ustaz yang memperingatkan umat terhadap bahaya dai yang menyimpang, bukan berarti ulama atau ustadz tersebut menganggap dirinya suci.
Yahya bin Ma’in Rahimahullah, seorang ulama ahlul hadis, imam dalam jarh wat ta’dil. Penilaian-penilaian Yahya bin Ma’in Rahimahullah sangat diperhitungkan dalam menilai status perawi hadis. Walaupun demikian, beliau mengatakan,
“Sesungguhnya kami mencela (menyebutkan jarh) orang-orang (yaitu para perawi hadis) yang bisa jadi akan menjejakkan kaki mereka di surga 200 tahun lebih dahulu” (Muqaddimah Ibnu Shalah, tahqiq Dr. Aisyah Abdurrahim, hal. 656).
Beliau tidak merasa lebih baik dari para perawi yang beliau kritik.
Maka jika ada ulama atau ustaz ahlussunnah yang memperingatkan umat agar menjauhi seorang yang menyimpang atau dai yang sesat, bukan berarti ulama atau ustaz ahlussunnah tersebut menyucikan dirinya, merasa pasti lebih baik, “mengaveling surga”, merasa lebih saleh atau semisalnya. Tidak sama sekali.
Urusan surga, bisa jadi yang dikritik atau di-tahdzir itu lebih dulu masuk surga, lebih mulia derajatnya, lebih saleh. Karena tidak ada yang mengetahui perkara surga kecuali Allah Ta’ala, dan tidak ada yang mengetahui bagaimana akhir kehidupan setiap manusia kecuali Allah Ta’ala.
Namun tetap saja, penyimpangan dan kesesatan perlu diingkari dan diperingatkan. Untuk melindungi umat dari penyimpangan dan untuk menjaga kemurnian agama.
Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah ketika ada yang bertanya kepada beliau, “Anda lebih menyukai ketika seseorang yang rajin puasa, rajin salat dan rajin iktikaf ataukah ia bicara tentang ahlul bidah?” Imam Ahmad Rahimahullah menjawab,
“Jika seseorang beribadah, salat, iktikaf, maka itu semua untuk dirinya sendiri. Namun, jika ia bicara tentang ahlul bidah, maka itu manfaatnya untuk kaum Muslimin, ini yang lebih utama.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengomentari perkataan ini, beliau berkata,
“Imam Ahmad menjelaskan bahwa menjelaskan penyimpangan ahlul bidah ini manfaatnya luas untuk kaum Muslimin, dan termasuk jihad fii sabilillah. Karena memurnikan jalan Allah, agama Allah, memurnikan cara beragama, memurnikan syariat-Nya, serta mencegah kezaliman dari musuh-musuh Allah yang merusak agama, ini adalah wajib kifayah menurut kesepakatan ulama. Jika tidak ada orang yang Allah jadikan sebagai pembela agamanya, untuk mencegah dari bahaya mereka, maka agama akan rusak” (Majmu Al Fatawa, 28: 231-232).
Dari sini juga kita paham bahwa dalam menjelaskan penyimpangan ahlul bid’ah dan memperingatkan umat dari dai sesat, butuh kepada niat yang ikhlas. Yaitu untuk menjaga kemurnian agama dan melindungi umat dari kesesatan.
Jangan sampai niat dikotori oleh urusan pribadi, sakit hati, menumpahkan emosi, mencari popularitas, mencari pujian, dan niat-niat yang batil yang lainnya.
Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.
https://muslim.or.id/67830-tahdzir-terhadap-dai-menyimpang-bukan-berarti-merasa-suci.html
Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 1)
Secara ringkas, menyederhanakan hidup telah menjadi jurus yang marak digandrungi untuk menghindari dampak negatif hidup autopilot. Tidak hanya menyederhanakan barang dan konsumsi, namun juga menyederhanakan hati, karena menata hati = menata hidup.
Silakan baca artikelnya lewat tautan berikut
https://muslim.or.id/93862-langkah-menyederhanakan-hati-bag-1.html